Friday, September 10, 2010

MAHA PATIH GAJAH MADA





Maha Patih Gajah Mada harus menerima nasibnya. Kebesarannya,
diakhir hayatnya hanya membuat ia diasingkan di
desa terpencil ini. Tak pernah jelas dalam asal
usulnya, jelas ia bukan raja yang perlu
dilegendakan riwayat kelahirannya.
Tapi yang pasti kemungkinan besar ia keturunan
keluarga bangsawan karena berhasil memasuki pasukan
Bhayangkara bahkan bisa menjadi pemimpinnya.
Sudah jamak saat itu, ketika pasukan elit hanya
bisa dimasuki oleh mereka yang berdarah biru pula.
Majapahit yang baru berdiri, dibawah Raden Wijaya, raja pertamanya,
sedang berusaha mengkonsolidasikan kekuatannya. Setelah Kediri dengan
Jayakatwangnya berhasil ditaklukkan, dan di sisi lain pasukan Mongolia
telahberhasil diusir pergi, maka negara baru itu segera bermimpi akan mencapai
kebesarannya setidaknya mencapai seperti Singosari, negara awalnya. Di
samping itu bukankah Raden Wijaya adalah keturunan resmi yang pertama
kali berhasil menjadi raja dari perkawinan Ken dedes dan Ken Arok, yang
dilegendakan akan menurunkan raja terbesar di Jawa? Semuanya sudah
tersedia, tinggal bagaimana raja baru itu memanfaatkan situasi.

Maka pembangunan kemiliteran adalah
salah satu jalan yang diplih untuk
memperkuat negara itu. Apalagi dalam
perjalanannya, negara yang baru
tumbuh itu, harus mengalami berbagai
macam pemberontakan, yang terutama
dari sahabat dekat sang raja sendiri,
seperti Ranggalawe, Lembu sora, ataupun
Nambi. Negara itu akan rapuh jika tak ada
yang siap beregenerasi. Maka
sekolah militer untuk perwira dimasa depan
disiapkan. Dan Gajah Mada adalah salah satu
produknya. Menghabiskan masa mudadalam pendidikan
kemiliteran, tak ada yang tahu kenapa ia bisa melesat tinggi karirnya.
Hanya satu hal yang ia tahu, kesempatan tak pernah datang dua kali.
Setelah Raden Wijaya wafat, Jayanegara naik sebagai raja. Sayang ia
lemah.
Maka ketidakpuasan pun muncul. Dan yang terhebat adalah pemberontakan
Kuti. Huru hara pun muncul di ibukota, yang menyebabkan Jayanegara harus
lari kesebuah desa hanya ditemani oleh pasukan elitnya yaitu
Bhayangkara (nama desanya lupa, kalau gak salah namanya Badeder),
yang tentu saja pimpinannya saat itu adalah Gajah Mada.

Gajah Mada yang cerdas ini segera menyusun siasat, untuk mengembalikan
tahta pada sang raja. Ia pergi ke ibukota, untuk melihat reaksi rakyat,
apakah Kuti didukung atau tidak. Ia tiupkan isu sang raja telah wafat.
Segera kesedihan mewarnai ibukota. Dan ia pun tahu, rakyat masih dibelakan
sang raja. Segera ia kumpulkan pasukan, cari dukungan dan kemudian
munculkan sang raja. Kuti yang tak berpikir ke sana akhirnya kalah
oleh kuatnya dukungan terhadap sang raja. Ia kalah cerdik oleh juniornya.
Tetapi setelah sang rajakembali berkuasa, tetap tak tak ada yang berubah.
Dan Gajah mada pun muak melihatnya. Negara ini akan hancur jika raja lemah.
Bagi Gajah mada,
kesetiaan bukanlah pada sang raja, tapi bagi negaranya. Ia segera menyusun
siasat. Ia tahu sang raja mata keranjang. Temannya Ra Tanca, tabib istana,
punya istri yang cantik. Oleh Gajah Mada, ia mengisyaratkan berita ini pada
sang raja. Raja yang penasaran itupun mencari tahu, dan setelah melihat
sendiri, ternyata jatuh hati pada istri Ra Tanca. Ra Tanca yang mengetahui
berita ini pun marah. Baginya sekarang cuma ada dua pilihan, membunuh
sang raja, atau ialah yang akan dibunuh. Pada waktu raja sakit, Gajah Mada
segera menyiapkan perangkapnya. Ia panggil Ra Tanca untuk mengobati
raja. Tapi ia tahu pula, hati Ra Tanca sudah terbakar amarah, dan pasti
akan memanfaatkan situasi ini. Benar saja Ra Tanca membunuh raja. Ada dua
versi, ada yang bilang membunuh dengan keris, versi lain dengan
meminumkan racun. Gajah Mada yang sudah memperkirakan hal ini, segera
bertindak seolah-olah ia kaget, dan segera menikam Ra Tanca, pembunuh
raja sekaligus melenyapkan bukti. Segera nama Gajah Mada semakin
menjulang ditengah duka ibukota. Dan istri Ra Tanca? Ah, janganlah berpikir
ini cerita romantis, bahwa Gajah Madalah yang mendapatkannya, sebab bagi
sejarah, nasib istri Ra Tanca tak penting lagi.

Dan Gajah Mada pun jadi pahlawan. Bagi sebagian orang yang juga tak
menyukai Jayanegara, tindakan Gajah mada tepat. Apalagi setelah
Jayanegara wafat, digantikan oleh Tribuana Tungga Dewi. Wanita yang nyaris
dijadikan istri oleh Jayanegara, walaupun ia merupakan saudara satu ayah
lain ibu Jayanegara. Dan Tribuana sendiri hanya sebagai raja pengganti,
menggantikan sang ibu Gayatri yang memilih menjadi Biksuni hingga Gayatri
wafat, sehingga Hayam Wuruk menjadi raja. Tapi disini, ada yang berubah.
Karir Gajah Mada meningkat. Setelah hanya menjadi bekel, kemudian naik
menjadi pimpinan pasukan pelindung raja, naik menjadi patih di daerah
Kediri(sebuah daerah protektorat), kemudian ia menjadi Mahapatih di
Majapahit dan secara de facto yang memegang kekuasaan tertinggi,
karena Hayam wuruk masih kecil. Dan disaat pengangkatnnya lah ia bersumpah
yang dikenal sebagai Amukti Palapa. Dan selanjutnya, hidupnya diabadikan
untuk mewujudkan sumpah itu.


Hayam wuruk yang masih kecil menyerahkan semua urusan negara pada
Gajah Mada. Dan kepercayaan itu dibalas dengan sempurna. Majapahit
segera menjadi yang terbesar. Kekuasaannya meluas, seperti yang diimpikan
oleh Gajah Mada. Bali, Tumasik, Maluku dan Campa menjadi wilayah
kekuasaannya. Kadang ia sendiri turun kemedan perang memimpin
pasukannya untuk menaklukkan. Hingga ketika kekuasaan meluas melebihi
yang pernah dikenal orang Jawa, ada satu titik yang tersisa, Sunda.

Negeri ini masih merdeka dan masalah pun dimulai. Hayam wuruk yang
beranjak dewasa, memerlukan pendamping, permaisuri yang sebanding.
Dibutuhkan yang tercantik, cerdas dan dari kerajaan yang besar pula. Hayam
wuruk menilai Dara petak dari Sunda, putri raja Galuh pantas menjadi
permaisurinya. Maka segera dikirimlah lamaran. Dan tentu saja Raja Galuh
gembira dengan lamaran ini. Hayam Wuruk adalah pria terpandang, tampan
dan sangat pantas menjadi menantunya. Dan segera urusan ini dipercepat,
dan berangkatlah Raja Galuh ke Majapahit, membawa rombongan kecil
dengan putrinya dan kemudian berhenti sejenak di desa Bubat, menunggu
jemputan dari Majapahit. Gajah Mada yang mewakili Hayam Wuruk
menjemput pengantin. Di desa Bubat mereka bertemu, untuk membicarakan
hal-hal yang menyangkut pernikahan. Tapi tragedi ini baru saja dimulai.
Gajah Mada memandang, ini adalah usaha pelengkapnya untuk
memasukkan Galuh dan seluruh Sunda yang kecil itu kedalam lingkaran
Majapahit. Sang putri, merupakan tanda upeti bagi Majapahit, sebagai
lambang kesetiaan dan nantinya akan dijadikan sebagai selir raja. Raja Galuh,
Sri Baduga tak meyukai ide itu. Baginya ini adalah pernikahan pihak yang
sederajat, sekufu, tak ada upeti dan sang putri harus menjadi permaisuri
Raja, bukan selir yang dianggap sebagai penghinaan. Kata setuju tak dapat
dicapai, dan amarah mulai menggelegak dan terjadilah pertempuran. Pasukan
Galuh yang kecil itu luluh lantak ditangan pasukan Gajah Mada dan sang raja
sendiri harus tewas. Sedang sang putri yang seharusnya akan berbahagia
akan menjadi pengantin, akhirnya bunuh diri karena menanggung kesedihan.
Dan Gajah Mada sendiri puas, cita-citanya tercapai, Nusantara telah bersatu
dibawah Majapahit.
Tapi Hayam Wuruk tak sependapat. Ia yang datang terlambat, sesuai
tradisipengantin waktu itu,
melihat pemandangan mengerikan. Calon istrinya
telah meninggal. Ia marah pada Gajah Mada,
tapi Gajah Mada adalah orang yang
sangat berjasa bagi negara. Dan tindakannya hanya
insting kenegaraan saja,
dan untuk kejayaan Majapahit. Tapi disini visi
mereka berbeda, dan tak
mungkin 2 orang yang berbeda visi bekerjasama.
Dan Gajah Mada sebagai orang Jawa mengerti hal itu,
ialah yang harus mundur. Tiba-tiba ia merasa
sudah tua, lelah sekali. Ia pergi, menanggalkan
semua kebesarannya.
Baginya sendiri tugasnya sudah selesai. Majapahit
sudah sebesar yang diimpikannya.
Ia memilih untuk menyepi, menghabiskan sisa hidupnya.
Oleh Hayam wuruk,
ia diberi sebuah desa kecil di dekat sungai
Brantas yang dibebaskan dari pajak
dan dinamakan desa Mada. Disinilah Gajah Mada menunggu takdirnya dan
menikmati kesepiannya. Dan ia tahu raja tak pernah berminat lagi bertemu
dengannya ketika sang raja mengelilingi Jawa dan sempat berada di dekat
desa Mada. Tapi Hayam wuruk tak bersedia singgah untuk bertemu mantan
Patih yang sudah tua itu. Sebuah pertanyaan tersisa, kesetiaan seperti apa
yang penting. Pada negara atau pada raja?

1 comment:

  1. ada kemungkinan putri citra resmi dan pengiring wanitanya dilecehkan dan dibunuh oleh laskar majapahit

    ReplyDelete