Sunday, September 19, 2010
LEGONG KERATON BERMULA DARI PROSES MEDITASI
oleh ; agung bawantara
Ini sebuah catatan menarik mengenai asal-muasal tari Legong. Saya temukan pada sebuah katalog festival pelegongan yang diselenggarakan di Denpasar, Mengwi, dan Peliatan pada 1995. Catatan itu dibuat oleh Prof. Dr. I Made Bandem, Sekretaris Yayasan Walter Spies yang menyelenggarakan acara tersebut. Dalam catatan tersebut Prof. Bandem mengutarakan bahwa lahirnya Legong bermula dari hasil pertapaan Raja Sukawati, I Dewa Agung Made Karna. Kisah tersebut tercatat dalam Babad Dalem Sukawati yang disurat sekitar awal abad ke-19. Saat itu wilayah Sukawati, Gianyar, memang sudah masyur sebagai daerah yang memiliki penari-penari yang sangat handal.
Menurut babad tersebut, suatu hari I Dewa Agung Made Karna yang dikenal memiliki kemampuan spiritual yang tinggi, melakukan pertapaan di Pura Yogan Agung di desa Ketewel, dekat Sukawati. Pada saat itu hadirlah dalam ciptanya beberapa sosok bidadari-bidadari melayang di angkasa. Para bidadari yang cantik jelita itu memperagakan tarian yang sangat menakjubkan. Mereka berbusana penuh warna. Kepala mereka bergelung tatahan emas penuh manikam yang cerlang-cemerlang.
Begitulah, saat bangkit dari tapanya, sang raja memerintahkan penguasa desa Ketewel untuk mengumpulkan para seniman di sana dan meminta mereka membuat beberapa topeng sekaligus menciptakan tarian berdasarkan penglihatan (cipta) sang raja.
Beberapa bulan kemudian, lahirlah sembilan topeng sebagai wujud sembilan bidadari dalam mitologi Hindu. Dua penari Sanghyang kemudian diperintahkan untuk menarikan topeng tersebut. Penari Sanghyang adalah penari-penari muda pilihan yang tidak hanya berbakat melenggokkan tubuh, melainkan juga memiliki kepekaan untuk trance, dan belum menstruasi. Tari topeng yang dipertunjukkan oleh kedua penari Sanghyang itu dinamakan dengan Sang Hyang Legong. Tarian ini –dengan topeng aslinya— hingga kini masih digelar di Pura Yogan Agung setiap upacara Piodalan yang diselenggarakan setiap 210 hari sekali di pura tersebut.
Terinspirasi oleh Sanghyang Legong, tak berapa lama kemudian sebuah kelompok tari dari Blahbatuh yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Jelantik melahirkan sebuah tarian baru dalam gaya yang serupa. Bedanya, semua penarinya adalah laki-laki dan tidak mengenakan topeng. Tarian ini dinamakan dengan Nandir.
Dalam sebuah acara, Raja Sukawati menyaksikan pertunjukan Nandir, dan amat terkesan. Beliau kemudian memerintahkan punggawanya untuk mengumpulkan para seniman di Sukawati untuk membuta tarian serupa untuk para gadis muda di istananya. Hasilnya adalah tarian Legong yang kita kenal sekarang.
Rupanya, pesona para penari Legong jauh lebih memukau daripada penari Nandir. Maka lambat laun Nandir pun menghilang dan punah. Penari Nandir terakhir adalah I Wayan Rindi dari Denpasar telah meninggal pada tahun 1976.
Pada pertengahan 1930-an hingga 1960-an beberapa tarian tunggal baru muncul. Tarian-tarian tersebut antara lain Panji Semirang dan Margapati. Karena kekurangan terminologi, tarian-tarian tersebut pun disebut Legong. Untuk membedakannya, legong yang asli diberi nama Legong Kraton.
Beberapa Komposisi Legong
* Pelayon – tidak memiliki cerita khusus, abstrak
* Lasem – mengisahkan kegemulaian Putri Rangesari
* Kuntir – mengisahkan pertarungan dua kakak-beradik memperebutkan seorang perempuan jelita
* Jobog – menisahkan Subali dan Sugriwa yang memperebutkan Cupu manic Astagina
* Kuntul – menisahkan tarian dua ekor burung Kuntul
* Prabangsa – merupakan fragmentasi kisah Calon Arang
* Legod Bawa – mengisahkan Dewa Wisnu dan Dewa Indra beradu kekuartan dengan Dewa Siwa. Tarian ini menggunakan topeng beruang dan garuda.
* Kupu-kupu Tarum – mengisahkan sepasang kupu-kupu bercengkerama di taman
* Candra Kanta – mengisahkan keharmonisan antara rembulan dan matahari
* Semaradhana – mengisahkan Dewa Siwa yang tengah melakukan yoga Samadhi
* Goak Macok – mengisahkan dua ekor gagak yang tengah berburu telur ayam kampung
* Bapang – abstrak
* Durga abstrak
* Sudarsana – termasuk cerita Calonarang
* Raja Cina* – mengisahkan percintaan sepasang kekasih
* Bramara* – mengisahkan percintaan sepasang kumbang
* Calonarang* – Cuplikan kisah Calonarang
* Gadung Melati* – menggambarkan kemolekan bunga-bunga di taman
Catatan:
Komposisi tari yang bertanda * adalah komposisi yang hingga tahun 1995 belum direkonstruksi.
Sunday, September 12, 2010
PROGRAM RASMISANCAYA
PROGRAM KEGIATAN RASMISANCAYA
1. YOGA
Yoga (Aksara Dewanagari) dari bahasa Sansekerta berarti "penyatuan", yang bermakna "penyatuan dengan alam" atau "penyatuan dengan Sang Pencipta". Yoga merupakan salah satu dari enam ajaran dalam filsafat Hindu, yang menitikberatkan pada aktivitas meditasi atau tapa di mana seseorang memusatkan seluruh pikiran untuk mengontrol panca inderanya dan tubuhnya secara keseluruhan. Masyarakat global umumnya mengenal Yoga sebagai aktivitas latihan utamanya asana (postur) bagian dari Hatta Yoga. Yoga juga digunakan sebagai salah satu pengobatan alternatif, biasanya hal ini dilakukan dengan latihan pernapasan, oleh tubuh dan meditasi, yang telah dikenal dan dipraktekkan selama lebih dari 5000 tahun.
Orang yang melakukan tapa yoga disebut yogi, yogin bagi praktisi pria dan yogini bagi praktisi wanita.
Sastra Hindu yang memuat ajaran Yoga, diantaranya adalah Upaishad, Bhagavad Gita, Yogasutra, Hatta Yoga serta beberapa sastra lainnya.
Klasifikasi ajaran Yoga tertuang dalam Bhagavad Gita, diantaranya adalah Karma Yoga/Marga, Jnana Yoga/Marga, Bakti Yoga/Marga, Raja Yoga/Marga.
Yoga memberi ketenangan bagi mahluk hidup yang keseharian hidupnya dipenuhi hiruk-pikuk dan kompleksitas. Motivasi manusia berbeda satu dengan yang lain, ada yang ingin mendapatkan anuegarh alam dengan menyerap hawa halus alam melalui yoga, merestorasi olah pikiran agar lebih terkonsentrasi dan mengarah pada satu titik tujuan hidup yang sejati, memperoleh anugerah kesehatan yang alami, memusatkan energi diri ( kundalini ) pada tahap kehidupan yang diinginkan, tahap kepedulian terhadap kehidupan spiritual mereka, atau ada juga yang hanya mengikuti karena situasi lingkungan saat ini dan sebagainya .
Tehnik Yoga :
Gerakan Fisik / Olah tubuh
Olah Nafas / Wirama
Olah Pikiran
Keseimbangan /Mudra
Pembersihan / SatKarma
Konsentrasi / Dharana
Meditasi / Dyana
Penyatuan Diri / Samadhi
Pembebasan / Self Realitation
Kebahagiaan / Hasya
AKTIVITAS YOGA RASMI SANCAYA
Healing Event
Tour and Adventure On Sipirit Places
Sport On Spirit Land
TEMPAT :
Budakeling ; Holy Village and Pandith ( Munk )Houses
BadaBudu Hill ( Budha Budi ); Full of Energy Spirit
Tirtagangga ; Holy Spring Water
Taman Ujung ; Place for Lango ( Relax & Happy healing )
Lempuyang ; Based of Life( Light of Earth )
Besakih ; Paradise Knowledge in Bali
Tenganan Village ; Clasical Bali Age
2. PENDIDIKAN BUDI PEKERTI
Budi Pekerti adalah induk dari segala etika ,tatakrama, tata susila, perilaku baik dalam pergaulan , pekerjaan dan kehidupan sehari-hari. Pertama-tama budi pekerti ditanamkan oleh orang tua dan keluarga dirumah, kemudian disekolah dan tentu saja oleh masyarakat secara langsung maupun tidak langsung.
Pada saat ini dimana sendi-sendi kehidupan banyak yang goyah karena terjadinya erosi moral,budi pekerti masih relevan dan perlu direvitalisasi.
Budi Pekerti yang mempunyai arti yang sangat jelas dan sederhana, yaitu : Perbuatan( Pekerti) yang dilandasi atau dilahirkan oleh Pikiran yang jernih dan baik ( Budi).
Manusia Indonesia menempati posisi sentral dan strategis dalam pelaksanaan pembangunan nasional, sehingga diperlukan adanya pengembangan sumber daya manusia (SDM) secara optimal. Pengembangan SDM dapat dilakukan melalui pendidikan mulai dari dalam keluarga, hingga lingkungan sekolah dan masyarakat.
Salah satu SDM yang dimaksud bisa berupa generasi muda (young generation) sebagai estafet pembaharu merupakan kader pembangunan yang sifatnya masih potensial, perlu dibina dan dikembangkan secara terarah dan berkelanjutan melalui lembaga pendidikan sekolah. Beberapa fungsi pentingnya pendidikan sekolah antara lain untuk : 1) perkembangan pribadi dan pembentukan kepribadian, 2) transmisi cultural, 3) integrasi social, 4) inovasi, dan 5) pra seleksi dan pra alokasi tenaga kerja ( Bachtiar Rifai). Dalam hal ini jelas bahwa tugas pendidikan sekolah adalah untuk mengembangkan segi-segi kognitif, afektif dan psikomotorik yang dapat dikembangkan melalui pendidikan moral. Dengan memperhatikan fungsi pendidikan sekolah di atas, maka setidaknya terdapat 3 alasan penting yang melandasi pelaksanaan pendidikan moral di sekolah, antara lain : 1). Perlunya karakter yang baik untuk menjadi bagian yang utuh dalam diri manusia yang meliputi pikiran yang kuat, hati dan kemauan yang berkualitas, seperti : memiliki kejujuran, empati, perhatian, disiplin diri, ketekunan, dan dorongan moral yang kuat untuk bisa bekerja dengan rasa cinta sebagai ciri kematangan hidup manusia. 2). Sekolah merupakan tempat yang lebih baik dan lebih kondusif untuk melaksanakan proses belajar mengajar. 3).Pendidikan moral sangat esensial untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan membangun masyarakat yang bermoral (Lickona, 1996 , P.1993).
Pelaksanaan pendidikan moral ini sangat penting, karena hampir seluruh masyarakat di dunia, khususnya di Indonesia, kini sedang mengalami patologi social yang amat kronis. Bahkan sebagian besar pelajar dan masyarakat kita tercerabut dari peradaban eastenisasi (ketimuran) yang beradab, santun dan beragama. Akan tetapi hal ini kiranya tidak terlalu aneh dalam masyarakat dan lapisan social di Indonesia yang hedonis dan menelan peradaban barat tanpa seleksi yang matang. Di samping itu system [pendidikan Indonesia lebih berorientasi pada pengisian kognisi yang eqivalen dengan peningkatan IQ (intelengence Quetiont) yang walaupun juga di dalamnya terintegrasi pendidikan EQ (Emotional Quetiont). Sedangkan warisan terbaik bangsa kita adalah tradisi spritualitas yang tinggi kemudian tergadai dan lebih banyak digemari oleh orang lain di luar negeri kita, yaitu SQ (Spiritual Quetiont). Oleh sebab itu, perlu kiranya dalam pengembangan pendidikan moral ini eksistensi SQ harus terintegrasi dalam target peningkatan IQ dan EQ siswa.
Akibat dari hanyutnya SQ pada pribadi masyarakat dan siswa pada umumnya menimbulkan efek-efek social yang buruk. Bermacam-macam masalah sosial dan masalah-masalahh moral yang timbul di Indonesia seperti : 1). meningkatnya pembrontakan remaja atau dekadensi etika/sopan santun pelajar, 2). meningkatnya kertidakjujuran, seperti suka bolos, nyontek, tawuran dari sekolah dan suka mencuri, 3). berkurangnya rasa hormat terhadap orang tua, guru, dan terhadap figur-figur yang berwenang, 4). meningkatnya kelompok teman sebaya yang bersifat kejam dan bengis, 5) munculnya kejahatan yang memiliki sikap fanatik dan penuh kebencian, 6). berbahsa tidak sopan, 7). merosotnya etika kerja, 8). meningkatnya sifat-sifat mementingkan diri sendiri dan kurangnya rasa tanggung jawab sebagai warga negara, 9). timbulnya gelombang perilaku yang merusak diri sendiri seperti perilaku seksual premature, penyalahgunaan mirasantika/narkoba dan perilaku bunuh diri, 10). timbulnya ketidaktahuan sopan santun termasuk mengabaikan pengetahuan moral sebagai dasar hidup, seperti adanya kecenderungan untuk memeras tidak menghormati peraturan-peraturan, dan perilaku yang membahayakan terhadap diri sendiri atau orang lain, tanpa berpikir bahwa hal itu salah (Koyan, 2000, P.74).
Untuk merespon gejala kemerosotan moral tersebut, maka peningkatan dan intensitas pelaksanan pendidikan moral di sekolah merupakan tugas yang sangat penting dan sangat mendesak bagi kita, dan perlu dilaksanakan secara komprehensif dan dengan menggunakan strategi serta model pendekatan secara terpadu, yaitu dengan melibatkan semua unsur yang terkait dalam proses pembelajaran atau pendidikan seperti : guru-guru, kepala sekolah orang tua murid dan tokoh-tokoh masyarakat. Tujuan pendidikan moral tidak semata-mata untuk menyiapkan peserta didik untuk menelan mentah konsep-konsep pendidikan moral, tetapi yang lebih penting adalah terbentuknya karakter yang baik, yaitu pribadi yang memiliki pengetahuan moral, peranan perasaan moral dan tindakan atau perilaku moral (Lickona, 1992. P. 53 )
Pada sisi lain, dewasa ini pelaksanan pendidikan moral di sekolah diberikan melalui pembelajaran pancasila dan kewarganegaraan (PPKn) dan Pendidikan agama akan tetapi masih tampak kurang pada keterpaduan dalam model dan strategi pembelajarannya Di samping penyajian materi pendidikan moral di sekolah, tampaknya lebih berorientasi pada penguasaan materi yang tercantum dalam kurikulum atau buku teks, dan kurang mengaitkan dengan isu-isu moral esensial yang sedang terjadi dalam masyarakat, sehingga peserta didik kurang mampu memecahkan masalah-masalah moral yang terjadi dalam masyarakat Bagi para siswa,adalah lebih banyak untuk menghadapi ulangan atau ujian, dan terlepas dari isu-isu moral esensial kehidupan mereka sehari-hari. Materi pelajaran PPKn dirasakah sebagai beban, dihafalkan dan dipahami, tidak menghayati atau dirasakan secara tidak diamalkan dalam perilaku kehidupan hari-hari.
Dalam upaya untuk meningkatkan kematangan moral dan pembentukann karakter siswa. Secara optimal ,maka penyajian materi pendidikan moral kepada para siswa hendaknya dilaksanakan secara terpadu kepada semua pelajaran dan dengan mengunakan strategi dan model pembelajaran seccara terpadu, yaitu dengan melibatkan semua guru, kepala sekolah ,orang tua murid, tokoh-tokoh masyarakat sekitar. Dengan demikian timbul pertanyaan,bahan kajian apa sajakah yang diperlukan untuk merancang model pembelajaran pendidikan moral dengan mengunakan pendekatan terpadu ?
Untuk mengembangkan strategi dan model pembelajaran pendidikan moral dengan menggunakan pendekatan terpadu ,diperlukan adanya analisis kebutuhan (needs assessment) siswa dalam belajar pendidikan moral. Dalam kaitan ini diperlukan adanya serangkaian kegiatan, antara lain : (1) mengidentifikasikan isu-isu sentral yang bermuatan moral dalam masyarakat untuk dijadikan bahan kajian dalam proses pembelajaran di kelas dengan menggunakan metode klarifikasi nilai (2) mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan siswa dalam pembelajaran pendidikan moral agar tercapai kematangan moral yang komprehensif yaitu kematangan dalam pengetahuan moral perasaan moral,dan tindakan moral, (3) mengidentifikasi dan menganalisis masalah-masalah dan kendala-kendala instruksional yang dihadapi oleh para guru di sekolah dan para orang tua murid di tua murid dirumah dalam usaha membina perkembangan moral siswa,serta berupaya memformulasikan alternatif pemecahannya, (4) mengidentifikasi dan mengklarifikasi nilai-nilai moral yang inti dan universal yang dapat digunakan sebagai bahan kajian dalam proses pendidikan moral, (5) mengidentifikasi sumber-sumber lain yang relevan dengan kebutuhan belajar pendidikan moral.
Dengan memperhatikan kegiatan yang perlu dilakukan dalam proses aplikasi pendidikan moral tersebut, kaitannya dengan kurikulum yang senantiasa berubah sesuai dengan akselerasi politik dalam negeri, maka sebaiknya pendidikan moral juga dilakukan penngkajian ulang untuk mengikuti competetion velocities dalam persaingan global. Bagaimanapun negeri ini memerlukan generasi yang cerdas, bijak dan bermoral sehingga bisa menyeimbangkan pembangunan dalam keselarasan keimanan dan kemajuan jaman. Pertanyaannya adalah siapkah lingkungan sekolah (formal-informal), masyarakat dan keluarga untuk membangun komitmen bersama mendukung keinginan tersebut ? Karena nasib bangsa Indonesia ini terletak dan tergantung pada moralitas generasi mudanya.
3. DHARMA GITA DAN WACANA
Dharma Wacana adalah methoda penerangan Agama Hindu yang disampaikan pada setiap kesempatan Umat Hindu yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan. Kegiatan penerangan semacam ini dimasa lalu disebut Upanisada. Terminologi Upanisada atau upanisad mengandung arti dan sifatnya yang "Rahasyapadesa" dan merupakan bagian dari kitab Sruthi. Pada masa lalu ajaran upanisad sering dihubungkan dengan "Pawisik" yakni ajaran rahasia yang diberikan oleh seorang guru kerohanian kepada siswa atau muridnya dalam jumlah yang sangat terbatas.
Materi Dharma Wacana yang dapat disampaikan pada setiap kesempatan yang ada, pada dasarnya meliputi semua aspek ajaran agama Hindu yang dikaitkan dengan kehidupan. Dalam hal ini dapat diklasifikasikan kedalam Sruthi, Smerthi, Purana, Itihasa dan Sang Sistha. Penyampaian materi disesuaikan dengan jenis kegiatan seperti kegiatan persembahyangan bersama hari purnama dan tilem, resepsi perkawinan, kegiatan pertemuan arisan dan sejenisnya dengan mengungkap beberapa sloka/ayat kitab suci yang relevan dengan thema dan jenis kegiatan itu.
Dharma Wacana sangat baik apabila disampaikan melalui ungkapan bahasa yang mudah dimengerti, dihayati dan diresapkan oleh hadirin. mampu memukau dan dihindari penggunaan istilah-istilah asing, kecuali belum atau tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Bahasa yang dipergunkan dalam Dharma Wacana disamping bahasa Indonesia dapat juga dipakai bahasa daerah setempat.
Dharma Gita artinya nyanyian keagamaan. Secara tradisional telah dilaksanakan di seluruh Indonesia. Kegiatan ini di Bali disebut makidung, makakawin, magaguritan, atau mamutru. Bila lagu keagamaan ini dirangkaikan dalam mengiringi suatu upacara seperti Dewa Yadnya, Dharma Gita ini dapat disebutkan sebagai Dharma Gita Anjali atau Gitanjali. Disamping itu lagu-lagu keagamaan ini dikaitkan pula dengan kesenian tradisionil seperti halnya: Arja atau topeng di Bali. Dalam usaha untuk mempelajari kitab-kitab suci seperti Weda, pembacaan-pembacaan Weda dapat dinyanyikan. Bahkan usaha untuk menyusun atau mengarang lagu-lagu keagamaan sebagai persembahan atau Gitanjali perlu digalakkan dikalangan seniman.
Dharma Gita sebagai media untuk menyampaikan dan memperdalam keyakinan beragama sangat efektif. Oleh karena itu penyampaian materi ajaran dijalin demikian rupa dalam bentuk lagu/irama yang indah dan menawan, mempesona pembaca dan pendengarnya. Usaha untuk melestarikan, mengembangkan dharma gita bertujuan untuk tetap menjaga dan memelihara warisan budaya tradisional yang diabadikan kepada keagamaan. Disamping itu melalui dharma gita diharapkan akan mampu memberikan sentuhan rasa kesucian kekhidmatan serta kekhusukan dalam pelaksanaan kegiatan keagamaan.
Sumber materi untuk Dharma Gita diambil dari kitab-kitab suci Agama Hindu maupun sastra-sastrakeagamaan lainnya yang dirangkaikan dalam bentuk geguritan, kidung, kakwin, dan mamutru. Untuk pengembangan lebih jauh perlu ditampilkan karya-karya baru yang berthemakan ajaran agama Hindu. Pengembangan materi dalam kreasi baru ini perlu dilaksanakan dalam rangka memperkaya dan menyesuaikan dengan perkembangan jaman.
Materi Dharma Gita diambil langsung dari kitab suci serta sastra-sastra keagamaan umumnya mempergunakan bahsa sansekerta maupun bahasa Jawa Kuno. Untuk mencapai sasaran/tujuannya perlu diberikan terjemahan yang mempergunakan bahasa yang mudah, seperti bahasa Indonesia atau bahasa daerah setempat. Demikian pula kreasi-kreasi Dharma Gita yang baru tetap membawakan pesan dan thema keagamaan, pemakaian bahasa daerah tidaklah merupakan hambatan bahkan justru sangat diharapkan untuk menumbuhkan rasa ikut meiliki dan ikut bertanggung jawab.
Catatan:
Dharma Gita merupakan salah satu media kesenian yang sangat menunjang pemahaman ajaran agama serta usaha meningkatkan kesucian rohani, media kesenian yang juga memegang peranan penting dan sama, karena itu pembinaan kehidupan keagamaan di Indonesia hendaknya senantiasa memanfaatkan kesenian daerahnya masing-masing.
4. SENI TARI DAN TABUH
Musik tradisional Bali memiliki kesamaan dengan musik tradisional di banyak daerah lainnya di Indonesia, misalnya dalam penggunaan gamelan dan berbagai alat musik tabuh lainnya. Meskipun demikian, terdapat kekhasan dalam tehnik memainkan dan gubahannya, misalnya dalam bentuk kecak, yaitu sebentuk nyanyian yang konon menirukan suara kera. Demikian pula beragam gamelan yang dimainkan pun memiliki keunikan, misalnya Gamelan Jegog, Gamelan Gong Gede, Gamelan Gambang, Gamelan Selunding, dan Gamelan Semar Pegulingan. Adapula musik Angklung dimainkan untuk upacara ngaben, serta musik Bebonangan dimainkan dalam berbagai upacara lainnya.
Terdapat bentuk modern dari musik tradisional Bali, misalnya Gamelan Gong Kebyar yang merupakan musik tarian yang dikembangkan pada masa penjajahan Belanda, serta Joged Bumbung yang mulai populer di Bali sejak era tahun 1950-an. Umumnya musik Bali merupakan kombinasi dari berbagai alat musik perkusi metal (metalofon), gong, dan perkusi kayu (xilofon). Karena hubungan sosial, politik dan budaya, musik tradisional Bali atau permainan gamelan gaya Bali memberikan pengaruh atau saling mempengaruhi daerah budaya di sekitarnya, misalnya pada musik tradisional masyarakat Banyuwangi serta musik tradisional masyarakat Lombok.
Seni tari Bali pada umumnya dapat dikatagorikan menjadi tiga kelompok; yaitu wali atau seni tari pertunjukan sakral, bebali atau seni tari pertunjukan untuk upacara dan juga untuk pengunjung, dan balih-balihan atau seni tari untuk hiburan pengunjung.
Pakar seni tari Bali I Made Bandem pada awal tahun 1980-an pernah menggolongkan tari-tarian Bali tersebut; antara lain yang tergolong ke dalam wali misalnya Berutuk, Sang Hyang Dedari, Rejang dan Baris Gede, bebali antara lain ialah Gambuh, Topeng Pajegan, dan Wayang Wong, sedangkan balih-balihan antara lain ialah Legong, Parwa, Arja, Prembon dan Joged, serta berbagai koreografi tari modern lainnya.
Salah satu tarian yang sangat populer bagi para wisatawan ialah Tari Kecak. Sekitar tahun 1930-an, Wayan Limbak bekerja sama dengan pelukis Jerman Walter Spies menciptakan tari ini berdasarkan tradisi Sanghyang dan bagian-bagian kisah Ramayana. Wayan Limbak mempopulerkan tari ini saat berkeliling dunia bersama rombongan penari Bali-nya.
Tarian wali
• Sang Hyang Dedari
• Sang Hyang Jaran
• Tari Rejang
• Tari Baris
• Tari Janger
Tarian bebali
• Tari Topeng
• Gambuh
Tarian balih-balihan
• Tari Legong
• Arja
• Joged Bumbung
• Drama Gong
• Barong
• Tari Pendet
• Tari Kecak
• Calon Arang
5. ASTAKARYA
Seni kriya adalah cabang seni yang menekankan pada ketrampilan tangan yang tinggi dalam proses pengerjaannya. Seni kriya berasal dari kata “Kr” (bhs Sanskerta) yang berarti ‘mengerjakan’, dari akar kata tersebut kemudian menjadi karya, kriya dan kerja. Dalam arti khusus adalah mengerjakan sesuatu untuk menghasilkan benda atau obyek yang bernilai seni” (Prof. Dr. Timbul Haryono: 2002).
Dalam pergulatan mengenai asal muasal kriya Prof. Dr. Seodarso Sp dengan mengutif dari kamus, mengungkapkan “perkataan kriya memang belum lama dipakai dalam bahasa Indonesia; perkataan kriya itu berasal dari bahasa Sansekerta yang dalam kamus Wojowasito diberi arti; pekerjaan; perbuatan, dan dari kamus Winter diartikan sebagai ‘demel’ atau membuat”. (Prof. Dr. Soedarso Sp, dalam Asmudjo J. Irianto, 2000)
Sementara menurut Prof. Dr. I Made Bandem kata “kriya” dalam bahasa indonesia berarti pekerjaan (ketrampilan tangan). Di dalam bahasa Inggris disebut craft berarti energi atau kekuatan. Pada kenyataannya bahwa seni kriya sering dimaksudkan sebagai karya yang dihasilkan karena skill atau ketrampilan seseorang”. (Prof. Dr. I Made Bandem, 2002)
Dari tiga uraian ini dapat ditarik satu kata kunci yang dapat menjelaskan pengertian kriya adalah; kerja, pekerjaan, perbuatan, yang dalam hal ini bisa diartikan sebagai penciptaan karya seni yang didukung oleh ketrampilan (skill) yang tinggi.
Seperti telah disinggung diawal bahwa istilah kriya digali khasanah budaya Indonesia tepatnya dari budaya Jawa tinggi (budaya yang berkembang di dalam lingkup istana pada sistem kerajaan). Denis Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: Silang budaya, menyatakan ‘istilah kriya yang diambil dari kryan menunjukkan pada hierarki strata pada masa kerajaan Majapahit, sebagai berikut; “Pertama-tama terdapat para mantri, atau pejabat tinggi serta para arya atau kaum bangsawan, lalu para kryan yang berstatus kesatriya dan para wali atau perwira, yang tampaknya juga merupakan semacam golongan bangsawan rendah’. (Denis Lombard dalam Prof. SP. Gustami, 2002)
Menyimak pendapat Prof. SP. Gustami yang menguraikan bahwa; seni kriya merupakan warisan seni budaya yang adi luhung, yang pada zaman kerajaan di Jawa mendapat tempat lebih tinggi dari kerajinan. Seni kriya dikonsumsi oleh kalangan bangsawan dan masyarakat elit sedangkan kerajinan didukung oleh masyarakat umum atau kawula alit, yakni masyarakat yang hidup di luar tembok keraton. Seni kriya dipandang sebagai seni yang unik dan berkualitas tinggi karena didukung oleh craftmanship yang tinggi, sedangkan kerajinan dipandang kasar dan terkesan tidak tuntas. Bedakan pembuatan keris dengan pisau baik proses, bahan, atau kemampuan pembuatnya.
Lebih lanjut Prof. SP. Gustami menjelaskan perbedaan antara kriya dan kerajinan dapat disimak pada keprofesiannya, kriya dimasa lalu yang berada dalam lingkungan istana untuk pembuatnya diberikan gelar Empu. Dalam perwujudannya sangat mementingkan nilai estetika dan kualitas skill. Sementara kerajinan yang tumbuh di luar lingkungan istana, si-pembuatnya disebut dengan Pandhe. Perwujudan benda-benda kerajinan hanya mengutamakan fungsi dan kegunaan yang diperuntukkan untuk mendukung kebutuhan praktis bagi masyarakat (rakyat). (Prof. SP. Gustami, 2002) Pengulangan dan minimnya pemikiran seni ataupun estetika adalah satu ciri penanda benda kerajinan.
Pemisahan yang berdasarkan strata atau kedudukan tersebut mencerminkan posisi dan eksistensi seni kriya di masa lalu. Seni kriya bukanlah karya yang dibuat dengan intensitas rajin semata, di dalamnya terkandung nilai keindahan (estetika) dan juga kualitas skill yang tinggi. Sedangkan kerajinan tumbuh atas desakan kebutuhan praktis dengan mempergunakan bahan yang tersedia dan berdasarkan pengalaman kerja yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari.
Kembali ditegaskan oleh Prof. SP. Gustami: seni kriya adalah karya seni yang unik dan punya karakteristik di dalamnya terkandung muatan-muatan nilai estetik, simbolik, filosofis dan sekaligus fungsional oleh karena itu dalam perwujudannya didukung craftmenship yang tinggi, akibatnya kehadiran seni kriya termasuk dalam kelompok seni-seni adiluhung (Prof. SP.Gustami, 1992:71).
Uraian tadi menyiratkan bahwa kriya merupakan cabang seni yang memiliki muatan estetik, simbolik dan filosofis sehingga menghadirkan karya-karya yang adiluhung dan munomental sepanjang jaman. Praktek kriya pada masa lalu dibedakan dari kerajinan, kriya berada dalam lingkup istana (kerajaan) pembuatnya diberi gelar Empu. Sedangkan kerajinan yang berakar dari kata “rajin” berada di luar lingkungan istana, dilakoni oleh rakyat jelata dan pembuatnya disebut pengerajin atau pandhe.
Dari beberapa pendapat yang telah dibahas sebelumnya menjelaskan bahwa wujud awal seni kriya lebih ditujukan sebagai seni pakai (terapan). Praktek seni kriya pada awalnya bertujuan untuk membuat barang-barang fungsional, baik ditujukan untuk kepentingan keagamaan (religius) atau kebutuhan praktis dalam kehidupan manusia seperti; perkakas rumah tangga. Contohnya dapat kita saksikan pada dari artefak-artefak berupa kapak dan perkakas pada jaman batu serta peninggalan-peninggalan dari bahan perunggu pada jaman logam berupa; nekara, moko, candrasa, kapak, bejana, hingga perhiasan seperti; gelang, kalung, cincin. Benda-benda tersebut dipakai sebagai perhiasan, prosesi upacara ritual adat (suku) serta kegiatan ritual yang bersifat kepercayaan seperti; penghormatan terhadap arwah nenek moyang.
Masuknya agama Hindu dan Budha memberikan perubahan tidak saja dalam hal kepercayaan, tetapi juga pada sistem sosial dalam masyarakat. Struktur pemerintahan kerajaan dan sistem kasta menimbulkan tingkatan status sosial dalam masyarakat. Masuknya pengaruh Hindu–Budha di Indonesia terjadi akibat asimilasi serta adaptasi kebudayaan Hindu-Budha India yang dibawa oleh para pedagang dan pendeta Hindu-Budha dari India dengan kebudayaan prasejarah di Indonesia. Kedua sistem keagamaan ini mengalami akulturasi dengan kepercayaan yang sudah ada sebelumnya di Indonesia yaitu pengkultusan terhadap arwah nenek moyang, dan kepercayaan terhadap spirit yang ada di alam sekitar. Kemudian kerap tumpang tindih dan bahkan terpadu ke dalam pemujaan-pemujaan sinkretisme Hindu-Budha Indonesia. (Claire Holt diterjemahkan oleh RM. Soedarsono, 2000)
Tumbuh dan berkembangnya kebudayan Hindu-Budha di Indonesia kemudian melahirkan kesenian berupa seni ukir dengan beraneka ragam hias, dan patung perwujudan dewa-dewa. Dalam sistem sosial kemudian lahir sistem pemerintahan kerajaan yang berdasarkan kepada kepercayaan Hindu seperti kerajaan Sriwijaya di Sumatra, kerajaan Kutai di Kalimantan, kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat, Mataram Kuno Jawa Tengah. Hingga kerajaan Majapahit di Jawa Timur dengan maha patih Gajah Mada yang tersohor, yang kemudian membawa pengaruh Hindu ke Bali. Seni ukir tradisional masih diwarisi hingga saat ini.
Peran seni kriyapun menjadi semakin berkembang tidak saja sebagai komponen dalam hal kepercayaan/agama, namun juga menjadi konsumsi golongan elit bangsawan yaitu sebagai penanda status kebangsawanan. Kondisi tersebut menjadikan kriya sebagai seni yang bersifat elitis karena menduduki posisi terhormat pada masanya, berbeda dengan kerajinan yang cenderung tumbuh pada kalangan masyarakat biasa atau golongan rendah.
Akan tetapi keadaannya berbeda pada masa modern, dimana tingkatan sosial seperti pada masa kerajaan yang disebut “kasta” sudah tidak lagi eksis. Kalaupun ada tingkatan sosial kini tidak lagi berdasarkan “kasta” atau kebangsawanan yang dimiliki oleh seseorang, akan tetapi kemapanan ekonomi kini menjadi penanda bagi status seseorang. Artinya tarap ekonomi yang dimiliki seseorang dapat membedakan posisi mereka dari orang lain, secara sederhana kekuasan sekarang ditentukan oleh kemampuan ekonomi yang dimiliki seseorang. Dalam sistem masyarakat modern kondisinya telah berubah kaum elit yang dulunya ditempati oleh kaum bangsawan (ningrat), sekarang digantikan kalangan konglomerat (pemilik modal). Kondisi ini membawa dampak bagi pada posisi kriya, karena kini kriya mulai kehilangan struktur sosial yang menopang eksistensinya seperti pada masa lalu.
Situasi ini menjadikan kriya tidak lagi menjadi seni yang spesial karena posisi terhormatnya di masa lalu kini sudah terancam tidak eksis lagi, kriya kini menjadi sebuah artefak warisan masa lalu. Terlebih lagi dalam industri budaya seperti sekarang kedudukan kriya kini tidak lebih sebagai obyek pasar, yang diproduksi secara masal dan diperjualbelikan demi kepentingan ekonomi. Kriya kini mengalami desakralisasi dari posisi yang terhormat di masa lalu, yang adiluhung merupakan artefak yang tetap dihormati namun sekaligus juga direduksi dan diproduksi secara terus-menerus.
Kehadiran kriya pada jenjang pendidikan adalah sebuah upaya mengangkat kriya dari hanya sebagai artefak, untuk menjadikannya sebagai seni yang masih bisa eksis dan terhormat sekaligus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman. Inilah tugas berat insan kriya kini. Dalam perkembangan selanjutnya sejalan dengan perkembangan jaman, konsep kriyapun terus berkembang. Perubahan senantiasa menyertai setiap gerak laju perkembangan zaman, praktek seni kriya yang pada awalnya sarat dengan nilai fungsional, kini dalam prakteknya khususnya di akademis seni kriya mengalami pergeseran orientasi penciptaan. Kriya kini menjelma menjadi hanya pajangan semata dengan kata lain semata-mata seni untuk seni. Pergerakan ini kemudian melahirkan kategori-kategori dalam tubuh kriya, kategori tersebut antara lain kriya seni, dan desain kriya.
Pakaian daerah
Pakaian daerah Bali sesungguhnya sangat bervariasi, meskipun secara selintas kelihatannya sama. Masing-masing daerah di Bali mempunyai ciri khas simbolik dan ornamen, berdasarkan kegiatan/upacara, jenis kelamin dan umur penggunanya. Status sosial dan ekonomi seseorang dapat diketahui berdasarkan corak busana dan ornamen perhiasaBusana tradisional pria umumnya terdiri dari:
Busana Adat Pria
• Udeng (ikat kepala)
• Kain kampuh
• Umpal (selendang pengikat)
• Kain wastra (kemben)
• Sabuk
• Keris
• Beragam ornamen perhiasan
Busana Adat Wanita
Busana tradisional wanita umumnya terdiri dari:
• Gelung (sanggul)
• Sesenteng (kemben songket)
• Kain wastra
• Sabuk prada (stagen), membelit pinggul dan dada
• Selendang songket bahu ke bawah
• Kain tapih atau sinjang, di sebelah dalam
• Beragam ornamen perhiasan
Friday, September 10, 2010
MAHA PATIH GAJAH MADA
Maha Patih Gajah Mada harus menerima nasibnya. Kebesarannya,
diakhir hayatnya hanya membuat ia diasingkan di
desa terpencil ini. Tak pernah jelas dalam asal
usulnya, jelas ia bukan raja yang perlu
dilegendakan riwayat kelahirannya.
Tapi yang pasti kemungkinan besar ia keturunan
keluarga bangsawan karena berhasil memasuki pasukan
Bhayangkara bahkan bisa menjadi pemimpinnya.
Sudah jamak saat itu, ketika pasukan elit hanya
bisa dimasuki oleh mereka yang berdarah biru pula.
Majapahit yang baru berdiri, dibawah Raden Wijaya, raja pertamanya,
sedang berusaha mengkonsolidasikan kekuatannya. Setelah Kediri dengan
Jayakatwangnya berhasil ditaklukkan, dan di sisi lain pasukan Mongolia
telahberhasil diusir pergi, maka negara baru itu segera bermimpi akan mencapai
kebesarannya setidaknya mencapai seperti Singosari, negara awalnya. Di
samping itu bukankah Raden Wijaya adalah keturunan resmi yang pertama
kali berhasil menjadi raja dari perkawinan Ken dedes dan Ken Arok, yang
dilegendakan akan menurunkan raja terbesar di Jawa? Semuanya sudah
tersedia, tinggal bagaimana raja baru itu memanfaatkan situasi.
Maka pembangunan kemiliteran adalah
salah satu jalan yang diplih untuk
memperkuat negara itu. Apalagi dalam
perjalanannya, negara yang baru
tumbuh itu, harus mengalami berbagai
macam pemberontakan, yang terutama
dari sahabat dekat sang raja sendiri,
seperti Ranggalawe, Lembu sora, ataupun
Nambi. Negara itu akan rapuh jika tak ada
yang siap beregenerasi. Maka
sekolah militer untuk perwira dimasa depan
disiapkan. Dan Gajah Mada adalah salah satu
produknya. Menghabiskan masa mudadalam pendidikan
kemiliteran, tak ada yang tahu kenapa ia bisa melesat tinggi karirnya.
Hanya satu hal yang ia tahu, kesempatan tak pernah datang dua kali.
Setelah Raden Wijaya wafat, Jayanegara naik sebagai raja. Sayang ia
lemah.
Maka ketidakpuasan pun muncul. Dan yang terhebat adalah pemberontakan
Kuti. Huru hara pun muncul di ibukota, yang menyebabkan Jayanegara harus
lari kesebuah desa hanya ditemani oleh pasukan elitnya yaitu
Bhayangkara (nama desanya lupa, kalau gak salah namanya Badeder),
yang tentu saja pimpinannya saat itu adalah Gajah Mada.
Gajah Mada yang cerdas ini segera menyusun siasat, untuk mengembalikan
tahta pada sang raja. Ia pergi ke ibukota, untuk melihat reaksi rakyat,
apakah Kuti didukung atau tidak. Ia tiupkan isu sang raja telah wafat.
Segera kesedihan mewarnai ibukota. Dan ia pun tahu, rakyat masih dibelakan
sang raja. Segera ia kumpulkan pasukan, cari dukungan dan kemudian
munculkan sang raja. Kuti yang tak berpikir ke sana akhirnya kalah
oleh kuatnya dukungan terhadap sang raja. Ia kalah cerdik oleh juniornya.
Tetapi setelah sang rajakembali berkuasa, tetap tak tak ada yang berubah.
Dan Gajah mada pun muak melihatnya. Negara ini akan hancur jika raja lemah.
Bagi Gajah mada,
kesetiaan bukanlah pada sang raja, tapi bagi negaranya. Ia segera menyusun
siasat. Ia tahu sang raja mata keranjang. Temannya Ra Tanca, tabib istana,
punya istri yang cantik. Oleh Gajah Mada, ia mengisyaratkan berita ini pada
sang raja. Raja yang penasaran itupun mencari tahu, dan setelah melihat
sendiri, ternyata jatuh hati pada istri Ra Tanca. Ra Tanca yang mengetahui
berita ini pun marah. Baginya sekarang cuma ada dua pilihan, membunuh
sang raja, atau ialah yang akan dibunuh. Pada waktu raja sakit, Gajah Mada
segera menyiapkan perangkapnya. Ia panggil Ra Tanca untuk mengobati
raja. Tapi ia tahu pula, hati Ra Tanca sudah terbakar amarah, dan pasti
akan memanfaatkan situasi ini. Benar saja Ra Tanca membunuh raja. Ada dua
versi, ada yang bilang membunuh dengan keris, versi lain dengan
meminumkan racun. Gajah Mada yang sudah memperkirakan hal ini, segera
bertindak seolah-olah ia kaget, dan segera menikam Ra Tanca, pembunuh
raja sekaligus melenyapkan bukti. Segera nama Gajah Mada semakin
menjulang ditengah duka ibukota. Dan istri Ra Tanca? Ah, janganlah berpikir
ini cerita romantis, bahwa Gajah Madalah yang mendapatkannya, sebab bagi
sejarah, nasib istri Ra Tanca tak penting lagi.
Dan Gajah Mada pun jadi pahlawan. Bagi sebagian orang yang juga tak
menyukai Jayanegara, tindakan Gajah mada tepat. Apalagi setelah
Jayanegara wafat, digantikan oleh Tribuana Tungga Dewi. Wanita yang nyaris
dijadikan istri oleh Jayanegara, walaupun ia merupakan saudara satu ayah
lain ibu Jayanegara. Dan Tribuana sendiri hanya sebagai raja pengganti,
menggantikan sang ibu Gayatri yang memilih menjadi Biksuni hingga Gayatri
wafat, sehingga Hayam Wuruk menjadi raja. Tapi disini, ada yang berubah.
Karir Gajah Mada meningkat. Setelah hanya menjadi bekel, kemudian naik
menjadi pimpinan pasukan pelindung raja, naik menjadi patih di daerah
Kediri(sebuah daerah protektorat), kemudian ia menjadi Mahapatih di
Majapahit dan secara de facto yang memegang kekuasaan tertinggi,
karena Hayam wuruk masih kecil. Dan disaat pengangkatnnya lah ia bersumpah
yang dikenal sebagai Amukti Palapa. Dan selanjutnya, hidupnya diabadikan
untuk mewujudkan sumpah itu.
Hayam wuruk yang masih kecil menyerahkan semua urusan negara pada
Gajah Mada. Dan kepercayaan itu dibalas dengan sempurna. Majapahit
segera menjadi yang terbesar. Kekuasaannya meluas, seperti yang diimpikan
oleh Gajah Mada. Bali, Tumasik, Maluku dan Campa menjadi wilayah
kekuasaannya. Kadang ia sendiri turun kemedan perang memimpin
pasukannya untuk menaklukkan. Hingga ketika kekuasaan meluas melebihi
yang pernah dikenal orang Jawa, ada satu titik yang tersisa, Sunda.
Negeri ini masih merdeka dan masalah pun dimulai. Hayam wuruk yang
beranjak dewasa, memerlukan pendamping, permaisuri yang sebanding.
Dibutuhkan yang tercantik, cerdas dan dari kerajaan yang besar pula. Hayam
wuruk menilai Dara petak dari Sunda, putri raja Galuh pantas menjadi
permaisurinya. Maka segera dikirimlah lamaran. Dan tentu saja Raja Galuh
gembira dengan lamaran ini. Hayam Wuruk adalah pria terpandang, tampan
dan sangat pantas menjadi menantunya. Dan segera urusan ini dipercepat,
dan berangkatlah Raja Galuh ke Majapahit, membawa rombongan kecil
dengan putrinya dan kemudian berhenti sejenak di desa Bubat, menunggu
jemputan dari Majapahit. Gajah Mada yang mewakili Hayam Wuruk
menjemput pengantin. Di desa Bubat mereka bertemu, untuk membicarakan
hal-hal yang menyangkut pernikahan. Tapi tragedi ini baru saja dimulai.
Gajah Mada memandang, ini adalah usaha pelengkapnya untuk
memasukkan Galuh dan seluruh Sunda yang kecil itu kedalam lingkaran
Majapahit. Sang putri, merupakan tanda upeti bagi Majapahit, sebagai
lambang kesetiaan dan nantinya akan dijadikan sebagai selir raja. Raja Galuh,
Sri Baduga tak meyukai ide itu. Baginya ini adalah pernikahan pihak yang
sederajat, sekufu, tak ada upeti dan sang putri harus menjadi permaisuri
Raja, bukan selir yang dianggap sebagai penghinaan. Kata setuju tak dapat
dicapai, dan amarah mulai menggelegak dan terjadilah pertempuran. Pasukan
Galuh yang kecil itu luluh lantak ditangan pasukan Gajah Mada dan sang raja
sendiri harus tewas. Sedang sang putri yang seharusnya akan berbahagia
akan menjadi pengantin, akhirnya bunuh diri karena menanggung kesedihan.
Dan Gajah Mada sendiri puas, cita-citanya tercapai, Nusantara telah bersatu
dibawah Majapahit.
Tapi Hayam Wuruk tak sependapat. Ia yang datang terlambat, sesuai
tradisipengantin waktu itu,
melihat pemandangan mengerikan. Calon istrinya
telah meninggal. Ia marah pada Gajah Mada,
tapi Gajah Mada adalah orang yang
sangat berjasa bagi negara. Dan tindakannya hanya
insting kenegaraan saja,
dan untuk kejayaan Majapahit. Tapi disini visi
mereka berbeda, dan tak
mungkin 2 orang yang berbeda visi bekerjasama.
Dan Gajah Mada sebagai orang Jawa mengerti hal itu,
ialah yang harus mundur. Tiba-tiba ia merasa
sudah tua, lelah sekali. Ia pergi, menanggalkan
semua kebesarannya.
Baginya sendiri tugasnya sudah selesai. Majapahit
sudah sebesar yang diimpikannya.
Ia memilih untuk menyepi, menghabiskan sisa hidupnya.
Oleh Hayam wuruk,
ia diberi sebuah desa kecil di dekat sungai
Brantas yang dibebaskan dari pajak
dan dinamakan desa Mada. Disinilah Gajah Mada menunggu takdirnya dan
menikmati kesepiannya. Dan ia tahu raja tak pernah berminat lagi bertemu
dengannya ketika sang raja mengelilingi Jawa dan sempat berada di dekat
desa Mada. Tapi Hayam wuruk tak bersedia singgah untuk bertemu mantan
Patih yang sudah tua itu. Sebuah pertanyaan tersisa, kesetiaan seperti apa
yang penting. Pada negara atau pada raja?
Thursday, September 9, 2010
HARI KEMAKMURAN ; Budha Cemeng
PEMBAHARUAN INSTALASI SPIRIT RSI MARKANDEYA ( ABAD I )
Ternyata instalasi spiritual yang terbangun di kawasan suci Besakih tidak sekedar tempat suci biasa bagi masyarakat hindu, dimana dominan untuk melakukan persembahyangan dan tirtayatra, bahkan menjadi tempat wisata yang menakjubkan.
Sangat sulit memang menemukan intisari kandungan inti relegius dari kawasan pura yang telah terbangun sampai saat ini, mungkin ada ratusan pelinggih yang terdiri dari Pura Inti Besukihan, Pusering Jagat, Penataran Tri Purusa,Catur Lawa, Pedarman dharma kawitan,serta masih banyak lagi pura yang belum disebutkan.
Menemukan Inti Spirit tersebut memerlukan sebuah kesiapan wawasan pikiran dimana pura ini dibangun karena maksud tertentu oleh para pendiri saat itu, tidak memaksakan diri untuk menganalisa ulang dengan pemikiran yang baru, apalagi hanya sekedar ikut -ikutan sebagai pewaris istilah ' mule keto '. Untuk itu perlu disadari bahwa para pendiri jaman itu hanya memikirkan bagaimana mewarisi sebuah idealisme dengan perkembangan waktu dan jaman yang berubah -ubah seperti jaman ini yaitu hanya bisa melakukan persembahyangan saja tanpa harus mengerti apa maksud dan pengetahuan apa yang terkandung didalam pura tersebut.
Kami dari Sanggar Padepokan Rasmi Sancaya mencoba memaksakan diri untuk mengerti dan membuka diri melihat inti dari spirit yang ada di masing - masing pura tersebut, sebagai langkah kami pada saat Buda Cemeng ( Wage Klawu )yaitu menelusuri instalasi spirit Ida Dukuh Sakti yang di kawasan Pura Besakih yaitu berawal dari :
Pura Bangun Sakti sebagai fundamen awal sebuah peradaban ( sosial, ekonomi, politik, budaya dan spiritualitas ), pada Buda Cemeng ini kami terfokus pada sebuah langkah awal penuntunan kekuatan Sri Sedana sebagai dasar agem - ageman kami sebagai fasilitas kehidupan yang yang tidak bisa epas dari dunia material ( berekonomi ), selanjutnya kami menguatkan energi di Pura Goa Raja terus mencatatkan diri di Pura Sri Sedana agar lebih bersemangat dengan spirit Ida Betara Sri Sedhana.
Selanjutnya kami membuat signal spirit kewirausahaan di Pura Manik Subandar yang kami tancapkan di Padepokan yang bertujuan spirit itu selalu terhubung dari padepokan dengan Betara Manik Subandar yang ada diseluruh semesta ini.
Terakhir kami berjanji dan berikrar di Pura Pemuput sebagai mahkota kehidupan, yaitu harta benda yang kami peroleh digunakan untuk memelihara alam sebagai rumah manusia beserta seluruh kehidupannya bersama Tumbuhan dan Hewan.
Sepanjang kami menelusuri dan persembahyangan itu diguyur hujan lebat, tetapi diakhir persembahyangan kami di Pura Pemuput hujan seketika hilang sampai kami kembali ke padepokan ( rahasya Sri Sedana ).
Itulah cara kami melakukan penjelajahan siritual di hari Kemakmuran Budha Cemeng tahun ini, semga tak terhalangi serta anugerah yang berlimpah pada Padepokan Kami.
Suksma dan Rahayu
Tuesday, September 7, 2010
TANAM PANCAR , KEBAT LAWANG TOPENG SAAT TUMPEK WAYANG
Sanggar Padepokan RasmiSancaya mencoba menanam pancar ulang serta ngebat lawang kembali warisan petopengan yang telah satu generasi hilang, namun atas asung waranugraha yang maha Taksu Semara Ratih kembali akan dikibarkan diawali pada saat Tumpek Wayang September Tahun 2010.
Sesungguhnya warisan dua (2 ) katung peragkat topeng dan perlengkapannya telah diambil alih oleh desa sebagai penerusnya, namun generasi penari topeng ( Sekehe Topeng Desa Adat Tohpati ) telah lama membaur atau tak kelihatan mahkotanya lagi.
ASAL USUL SENI TARI TOPENG.
Drama tari topeng adalah merupakan seni tari warisan budaya masyarakat Hindu
yang ada di Bali, yang terus berjalan dan berkembang, berubah sejalan dengan
perubahan nilai nilai artistik, sosial, dan kultural dari masyarakat Bali.
Kemampuannya beradaptasi dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam
lingkungan masyarakat pendukungnya telah membuat drama tari topeng ini hingga
kini mendapat tempat yang cukup istimewa dihati masyarakat, khususnya Hindu
yang ada di Bali maupun orang bali yang ada diluar bali.
Kedepan masyarakat perlu tetap terbuka namun selektip dalam menerima berbagi
inovasi yang dilakukan oleh para seniman topeng dalam meresponse berbagai
perubahan yang terjadi disekitarnya. Hanya dengan sikap seperti ini, kita akan
memberikan kondisi yang kondusif bagi seni pertopengan kita agar tetap hidup
dan berfungsi dalam berbagai aspek kehidupan spiritual, Social, dan cultural
dari masyarakat kita.
Semoga warisan budaya adi luhung ini akan tetap hidup bagaikan sekuntum bungan
yang senantiasa menebar bau haarum semerbak dalam kehidupan seni dan budaya
bali sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia.
Subscribe to:
Posts (Atom)